Memakai baju batik bagi keturunan Embah Jaya Perkasa ternyata dilarang
bagi keturunannya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis,
Sumedang, Jawa Barat.
Konon hal ini terkait sumpah yang
diucapkan Embah Jaya Perkasa saat menghilang tanpa bekas di Gunung
tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.
Embah Jaya
Perkasa atau Sanghiyang Hawu adalah salah satu Patih Kerajaan Sumedang
Larang saat diperintah Raden Angka Wijaya atau lebih dikenal sebagai
Prabu Geusan Ulun.
Sebelumnya Sanghiyang Hawu adalah Patih di
Kerajaan Pakuan Padjajaran saat dipimpin Prabu Nilakendra. Namun saat
itu di Pakuan Padjajaran sedang ditimpa kekacauan karena mendapat
serangan dari Kerajaan Banten yang dipimpin Syeh Maulana Yusuf.
Sehingga
Prabu Nilakendra berangkat meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum
berangkat Prabu Nilakendra memanggil dulu empat patih kepercayaan
kerajaan (Kandaga Lente) yaitu Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa);
Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan); Sanghiyang Kondang Hapa; Batara
Pancer Buana (Embah Terong Peot).
Amanat Prabu Nilakendra
memberikan mahkota kerajaan kepada Prabu Geusan Ulun Raja Sumedang
Larang sebagai penerus Kerajaan Padjajaran. Pada akhirnya ke empat
Kandaga Lente tersebut datang ke Sumedang Larang untuk menyampaikan
amanat Prabu Nilakendra, yaitu untuk berbakti kepada Kerajaan Sumedang
Larang (Geusan Ulun) sebagai penerus Padjajaran.
Dengan adanya
penyerahan mahkota dan penyertaan berbakti dari Raja Padjajaran, maka
seluruh wilayah kekuasaan Padjajaran dikuasai oleh Sumedang Larang.
Sehingga Embah Jaya Perkasa dan ke tiga saudaranya diangkat sebagai
patih di Sumedang Larang.
Konon waktu itu di daerah Sumedang
sudah banyak masyarakat yang menganut agama Islam. Karenanya sang raja
karena masih merasa banyak kekurangan di bidang Agama Islam. Prabu
Geusan Ulun pun berangkat ke Demak untuk belajar agama Islam.
Keberangkatan
Prabu Geusan Ulun diiringi ke empat patih yang setia tersebut. Usai
berguru di Demak hingga akhirnya Prabu Geusan Ulun pulang, sebelum
sampai ke Sumedang Larang dia mampir dulu ke Cirebon untuk
bersilaturahmi dengan Pangeran Giri Laya (Raja Cirebon).
Pangeran
Giri Laya menerima kedatangan Prabu Geusan Ulun dan dirinya masih satu
keturunan dari Sunan Gunung Jati. Rakyat dan keluarga kerajaan di
Cirebon semua merasa segan bahkan memuji kepada sang Prabu Geusan Ulun.
Ini
dikarenakan sikap Prabu yang ramah, masyarakat juga ditambah dengan
ketampanan Sang Prabu yang tiada duanya. Ketika Geusan Ulun memasuki
pendapa, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihat Raja Sumedang
Larang. Badannya tinggi besar, wajahnya tampan, hidungnya mancung,
keningnya bercahaya, dan sikapnya ramah tamah.
Ketika Pangeran
Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Girilaya, permaisuri
Pangeran Girilaya, Ratu Harisbaya menyajikan santapan. Ketika melihat
Prabu Geusan Ulun, permaisuri itu terpukau dan jatuh hati dengan
ketampanan Prabu Geusan.
Kemudian Prabu Geusan Ulun bermalam di
masjid dengan alasan hendak menenangkan pikiran. Namun pada suatu hari,
ketika Prabu Geusan Ulun tidur di masjid, pada tengah malam terdengar
bunyi langkah orang yang mendekatinya.
Ketika sudah dekat ternyata orang itu adalah Ratu Harisbaya. Prabu
Geusan Ulun sangat terkejut, seluruh badannya menggigil ketakutan,
pikirannya gelap tidak tahu apa yang harus diperbuat. Segeralah dia
memanggil keempat patihnya, baginda mengajak berunding bagaimana caranya
menasihati Ratu Harisbaya yang sudah tergila-gila olehnya, yang akan
bunuh diri jika tidak terlaksana.
Prabu Geusan Ulun sangat
bingung menghadapi perkara yang sangat sulit itu. Namun menurut saran
Embah Jaya Perkasa, Ratu Harisbaya lebih baik dibawa ke Sumedang Larang
sebab jika dibawa atau tidak tetap akan menimbulkan keributan.
Sehingga
malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Ratu
Harisbaya berangkat ke Sumedang Larang tanpa pamit lebih dulu kepada
Pangeran Girilaya.
Keesokan harinya di Keraton Cirebon gempar
bahwa Ratu Harisbaya hilang meninggalkan Pangeran Gerilaya. Dicarinya ke
masjid, teryata tamu pun sudah tidak ada.
Segeralah Pangeran
Girilaya membentuk pasukan untuk mengejar dan menyerang Prabu Geusan
Ulun. Dalam pengejaran di suatu tempat tercium bau wangi pakaian Ratu
Harisbaya.
Tempat itu kemudian disebut Darmawangi. Pasukan
tentara Cirebon bersiap - siap hendak menyergap Prabu Geusan Ulun.
Terjadilah pertempuran yang seru antara ke empat pengiring dengan
pasukan Cirebon. Namun pasukan Cirebon diamuk oleh Embah Jaya Perkasa
sehingga lari tunggang langgang.
Prabu Geusan Ulun, keempat
pengiringnya, dan Putri Harisbaya sudah tiba di Kutamaya. Ratu Harisbaya
ditempatkan di sebuah tempat yang dijaga ketat oleh hulubalang. Baginda
Prabu Geusan Ulun tidak berani dekat-dekat apalagi memegang tangannya
sebab Putri Harisbaya belum menjadi istri, belum diceraikan oleh
Pangeran Girilaya.
Pada suatu waktu terbetiklah berita oleh
Embah Jaya Perkasa bahwa Cirebon akan menyerang Sumedang Larang. Berita
itu segera disampaikan kepada ketiga temannya dan kemudian keempat orang
itu menghadap Prabu Geusan Ulun untuk dirundingkan.
Dalam
perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon sebelum menyerang harus
dihadang di perbatasan jangan sampai Sumedang Larang dijadikan medan
pertempuran. Embah Jaya Perkasa berkata kepada Prabu Geusan Ulun.
"Paduka
yang mulia!. Hamba berempat sanggup menghadap musuh. Gusti jangan
khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hanya hamba akan
memberi tanda yaitu hamba akan menanamkan pohon hanjuangi) di sudut alun
- alun. Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang
itu rontok daunnya suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang,
tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu suatu tanda bahwa
hamba unggul di medan perang,".
Setelah berkata demikian Embah
Jaya Perkasa segera menanamkan pohon hanjuang di sudut alun-alun. Pohon
hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu
saja.
Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, mempertaruhkan nyawanya.
Sesampainya di perbatasan, terlihat tentara Cirebon sedang berjalan berbaris menuju Sumedang Larang.
Melihat barisan tentara Cirebon yang sangat panjang itu segeralah
keempat patih bersujud memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung.
Terjadilah perang yang seru sekali.
Berkat kesaktian keempat
patih itu tentara Cirebon banyak yang tewas. Embah Jaya Perkasa mengamuk
di tengah-tengah barisan tentara Cirebon, terus mengobrak-abrik. Mayat
bergelimpangan bertumpang tindih tak terhitung banyaknya sehingga
beberapa tentara Cirebon yang masih hidup lari tunggang-langgang.
Tentara
Cirebon yang masih hidup itu terus dikejar oleh keempat patih. Embah
Jaya Perkasa yang telah banyak membunuh, makin bersemangat, dia terus
mengejarnya, makin lama makin jauh dari ketiga temannya.
Setelah
sekian lamanya Embah Jaya Perkasa tidak kelihatan kembali. Karena tidak
kunjung datang, ketiga patih lainnya pulang ke Sumedang Larang akan
mengabarkan keadaan Embah Jaya Perkasa kepada Prabu Geusan
Ulun.
Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun
bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Akhirnya tanpa melihat
pohon hanjuang di sudut alun-alun, sang prabu memerintahkan agar semua
rakyat yang mau mengabdi segera meninggalkan Sumedang Larang.
Mendengar
titah rajanya itu segeralah rakyat mengikuti rajanya dengan membawa apa
saja yang dapat dibawanya. Rombongan Prabu Geusan Ulun sudah sampai di
Batugara. Di sana permaisuri baginda, yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru,
sakit keras sampai wafatnya.
Karena Batugara tidak cocok untuk
keraton kemudian terus menuju lereng sebuah gunung, di sana dapat
melihat pemandangan ke mana-mana. Sesudah beristirahat, lereng gunung
itu dibuka dan didirikanlah keraton serta alun-alun. Bekas alun-alun itu
sekarang masih ada disebut Dayeuhluhur.
Syahdan, Embah Jaya
Perkasa yang mengejar-ngejar sisa tentara Cirebon, kemudian kembali ke
tempat ketiga patih menunggu. Ketika tiba di sana ketiganya tidak ada,
dicarinya ke mana-mana tidak dijumpainya, kemudian dia menuju Kutamaya.
Setiba
di sana seorang pun tidak ditemukannya, terus dia lari ke alun-alun
melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh
subur, daunnya banyak.
Dengan demikian dia bertambah marah.
Ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul
di lereng gunung. Dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke bumi,
seketika itu juga dia sudah berdiri, di lereng gunung itu.
Gunung
itu sekarang disebut Gunung Pangadegan. Tidak lama Embah Jaya Perkasa
sudah berhadapan dengan Prabu Geusan Ulun, dia menyembah kemudian
berkata.
"Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidaklah
Gusti percaya kepada hamba?" Prabu Geusan Ulun bertitah dengan suara
perlahan-lahan. "Oh, Eyang! Eyanglah tulang punggung Kerajaan Sumedang
Larang. Kami merasa gugup setelah mendengar berita bahwa Eyang tewas
dalam medan perang. Kami ingin menyelamatkan rakyat maka kami pergi
meninggalkan Kutamaya. Dari sini terlihat jelas ke mana-mana dan musuh
pun dari jauh sudah terlihat,". Kemudian Embah Jaya Perkasa berkata,"
Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba
tanam?,".
"Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali
lupa." "Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas,?".
"Dari Embah Nanganan," kata sang Prabu. Mendengar jawaban Prabu Geusan
Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkasa menjadi - jadilah marahnya. Ketika
itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia.
Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu Embah Kondang Hapa dan Embah
Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung. Embah
Kondang Hapa jatuh di Citengah.
Sampai sekarang penduduk
Citengah masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab
roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya.
Makamnya
sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau
Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur. Konon, setelah ketiga
temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkasa mengucapkan
kata-kata.
"Kalau ada keturunan di Kutamaya sejak saat ini
janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak
terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku
janganlah sekali - kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada
anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah
memakai kain batik (dari Jawa),".
Setelah mengucapkan kata-kata
itu Embah Jaya Perkasa terus ke Gunung Rengganis, di puncak gunung itu
dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung
tempat berdirinya Embah Jaya Perkasa kemudian ditemukan batu yang
berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat.
Adapun
Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke
mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
Sumber:
- Wikipedia dan diolah berbagai sumber
- Adamfirdaus75.blogspot